www.welcome.com

why we wait - welcome - communicate

Rabu, 08 Desember 2010

Penerbitan Perlu Sentuhan Seni

Seorang editor bukanlah karyawan penerbitan yang hanya duduk di kursi menunggu perintah dari atasan saja. Tuntutan zaman telah memaksa seorang editor menjadi ujung tombak dalam penerbitan karena dialah seseorang yang memiliki tanggung jawab besar di dalamnya. Sebagai ujung tombak, dia diharuskan untuk menjadi seorang jenius berwawasan luas, memiliki leadership, sekaligus berjiwa seni.
Proses di bagian penerbitan adalah lebih dari sekedar aplikasi skill, tetapi juga pengekspresian visual alias seni. Seni tersebut untuk menerjemahkan visi yang tersirat dalam sebuah penerbitan produk teks. Pemahaman akan tata bahasa dan luasnya perbendaharaan kata akan kurang berguna tanpa pengetahuan tentang nilai rasa sebuah kata. Pemahaman akan suatu teks akan sia-sia tanpa didukung pengetahuan tentang konteks, baik konteks budaya maupun situasi. Demikian pula kekayaan suatu ilmu akan menjadi mubazir tanpa mengetahui keinginan atau kebutuhan pasar. Hal terakhir ini semakin menjadi penting mengingat isi sebuah buku paling menjadi penentu kesuksesan.
Sebuah naskah mungkin saja sangat menarik atau hambar sama sekali. Namun, visi yang tersirat dari bahan mentah tersebutlah yang harus ditemukan terlebih dahulu. Bagaikan seorang manajer, editor harus menggariskan hal tersebut sebelum memutuskan untuk menerima sebuah naskah. Naskah yang biasa saja bisa menjadi potensial karena adanya kebutuhan di pasar yang tinggi. Apalagi naskah yang memiliki keunikan, maka seorang editor harus berani menerima dan mulai untuk mengeluarkan segenap jiwa seninya agar bisa memolesnya menjadi masterpiece.
Untuk menumbuhkan jiwa seni tersebutlah yang memakan waktu tidak sebentar. Ide atau inspirasi merupakan hal yang sangat penting bagi seorang editor seniman. Mendapatkannya sangatlah sulit jika tidak terlatih dalam berpikir kreatif atau dalam akuisisi naskah. Editor harus mau menjadi seorang ‘pencuri’ ide, atau paling tidak dia berkorban untuk berbelanja ide. Mencuri ide orang lain adalah legal selama belum dipatenkan atau tidak melanggar etika. Metode ini pun dirasa paling efektif untuk memunculkan inovasi baru, karena orang dapat mendapatkan ide secara utuh dan orisinil tanpa ditutup-tutupi. Misalnya, ada orang penerbit A mengisyaratkan untuk menerbitkan buku tentang beternak tokek, kemudian editor penerbit B mengetahuinya dan langsung mencuri start dengan tema tersebut. Mungkin penerbit A merasa kecolongan, tetapi sebenarnya hal itu akan menimbulkan kreativitas baru bagi mereka untuk mengemas sebuah produk dengan topik sama namun ‘rasa berbeda’. Jadi, sebenarnya kedua penerbit sama-sama memperoleh keuntungan, baik yang mencuri maupun yang kecurian.
Jalan lain adalah berbelanja ide, yaitu dengan mengadakan sharing dengan rekan dari penerbit lain atau penulis yang sudah terkenal. Cara ini dianggap lebih fair daripada mencuri ide, namun terkadang ide yang muncul sifatnya serampangan atau sporadis sehingga kurang efektif. Walaupun demikian, cara ini tetap harus digunakan untuk memperoleh inspirasi seluas-luasnya demi penerbitan yang inovatif. Sumur-sumur perlu digali lebih dalam dan lebar untuk mendapatkan inspirasi tersembunyi sekaligus menampung curahan ‘hujan’ ide.
Jika editor sudah memiliki kepekaan dalam penyuntingan dan dunia perbukuan, dia akan mulai menjadi seniman. Ide-ide penerbitan di dalam benaknya akan muncul dari hal-hal yang tidak diduga orang lain, misalnya tentang naskah 3 dimensi atau memadukan dua topik yang secara umum tidak nyambung. Waktu dan tempat akan semakin sulit membatasinya dalam berinovasi karena dia sadar bahwa inspirasi ada tidak hanya saat jam kerja dan di kantor.
Aplikasi ide selanjutnya menjadi tantangan yang luar biasa. Mencari penulis yang tepat atau menyeleksi naskah yang ada tentu saja memerlukan strategi yang jitu. Sorang seniman visioner akan melihat calon karyanya dari berbagai sisi, baik sisi kualitas isi maupun komersialnya. Sebuah naskah fiksi tentang petualangan bisa jadi bagus dan matang, namun menjadi tidak inovatif bila hanya diedit kebahasaannya saja. Editor harus mengetahui tentang spesifikasi buku, kaver, tata letak dan ilustrasi yang benar-benar pas untuk naskah tersebut sehingga tidak menjadi kesia-siaan, misalnya hanya karena ilustrasi gambar asal-asalan atau menggunakan ukuran kertas yang terlalu besar. Di sini lagi-lagi intuisi seni bermain secara alamiah ketika editor harus mempertimbangkan hasil editingnya secara visual. Dengan kata lain hasil akhir sebuah penyuntingan naskah harus bisa dibayangkan sehingga menjadi acuan dalam bekerja. Tentu saja, editor tidak bekerja sendiri, melainkan dia harus bersinergi dengan bagian artistik untuk mewujudkan karya terbaik. Hal tersebut semakin menguatkan alasan bahwa sentuhan seni harus dimiliki editor sehingga dia tidak asal nurut saja untuk urusan artistik. Bahkan dia harus lebih mengerti secara filosofis tentang naskah yang dikerjakannya daripada yang lain hubungannya dengan pendukungnya (desain kaver, layout dll) karena nilai-nilai itu tetap bersumber dari isi naskah tersebut.
Jiwa seorang editor dituntut untuk menyatu dengan apa yang dikerjakannya tanpa terlepas dari tuntutan bisnis. Jadi, seni di sini tetap memiliki batasan yang jelas karena sebuah penerbit pasti bagaikan berada dalam sebuah pasar; ia memiliki sebuah kios yang dipoles secantik mungkin agar dikunjungi dan diminati pelanggan. Pelanggan selalu memperhatikan bentuk, isi, dan harga serta menghargai keprofesionalan sebuah produsen. Penjual ide yang paling kreatiflah yang akan menang, bukan karena semata kualitas naskah namun juga karena kepekaan akan kebutuhan pembaca –karena buku memang untuk dibaca bukan pameran kata-kata belaka.
Sesuatu yang inovatif tak akan lepas dari sentuhan seni. Tanpa rasa keindahan, semua akan menjadi hambar. Tanpa sebuah ‘kegilaan’ yang positif, segalanya akan stagnan dan membosankan. Suatu ketika, sebuah visi perlu diubah saat kejenuhan mendekati kulminasi dan saat hantu krisis melanda penerbitan. Kegilaan dipadu dengan keindahan diperlukan demi menyelamatkan dunia perbukuan agar tidak terjerumus ke dalam jurang pembodohan publik. Bisa saja karena krisis moneter, sebuah penerbit akan mengeluarkan buku-buku atau novel-novel yang hanya menjual mimpi dan meminggirkan naskah-naskah yang sebenarnya problem solving. Artinya, pemikiran tentang revolusi seni harus selalu dimunculkan oleh seorang editor, baik di saat jaya maupun ketika genting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar