www.welcome.com

why we wait - welcome - communicate

Rabu, 08 Desember 2010

Lihatlah perubahan ‘kecil’

Bertatap muka untuk berkomunikasi adalah sebuah hal yang seharusnya ‘sakral’. Seseorang dituntut untuk menghormati lawan bicaranya. Dia harus menjaga ucapan, pandangan mata, dan gerak tubuh. Dia harus mendengarkan apa yang diucapkan lawan bicaranya dengan perhatian, sambil berpikir untuk memberi tanggapan yang sesuai dan tidak menimbulkan konflik di antara mereka. Banyak sebenarnya etika-etika yang terbentuk atau sengaja dibuat hanya untuk sekedar mengatur sebuah genre ‘bertatap muka.’
Menariknya, kini banyak manusia merasa gerah dengan aturan-aturan yang dibuatnya sendiri. Paradigma baru yang entah datang dari mana membuat manusia merasa ‘terpenjara’ dengan segala sesuatu yang bersifat ‘konvensional’. Celakanya, mereka menjadi tidak beraturan dalam hal-hal kecil hanya untuk mengatasnamakan ‘kebebasan’.
Tatap muka tak luput dari hantaman fenomena tersebut. Kini orang selalu membawa mobile phone kemana-mana dan tak lepas dari genggamamnnya, seakan tak bisa hidup tanpanya. Bahkan saat bercakap-cakap, orang masih sempat untuk membalas sms, menjawab telepon, atau berFB-ria. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya sebuah pembicaraan jika para pelaku komunikasi nyambi dengan hal-hal seperti itu. Pemandangan unik seringkali terjadi ketika banyak orang (biasanya anak muda) berkumpul, namun kebanyakan sibuk dengan hp sendiri-sendiri. Mungkin saja, dalam keadaan seperti itu, mereka dapat dihipnotis ketika mereka tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan lawan bicara. :) Lihat saja, orang disampingnya yang bisa diajak bicara malah terkadang dicuekinya (atau saling tak acuh), karena zaman sekarang, jari-jari juga menjadi alat bicara!
Manusia secara tidak sadar (seringkali dengan sukarela) telah ‘diperbudak’ oleh hal-hal yang mempermudah mereka, teknologi. Duapuluh empat jam dalam sehari tak akan pernah memuaskan hasrat manusia untuk materi, apalagi ditambah dengan tuntutan ‘gaul’. Berinteraksi dengan orang disekitar dirasa tidak cukup. Seorang yang modern harus mau berkomunikasi secara global, baik secara nyata maupun maya. Disini teknologi (yang lagi-lagi harus dikompensasi dengan materi) menjadi faktor ‘pemaksa’ sekaligus ‘solusi’. Handphone tidak akan mengerti jika tuannya sedang sibuk rapat. Salahsatu tugasnya yaitu memberikan apa-apa yang disampaikan lewatnya, baik pesan maupun panggilan. Sang tuan biasanya juga tidak berani meninggalkannya dalam keadaan off karena takut bila bisnisnya gagal, kekasihnya marah, dll. Jadi, seorang pemilik ketakutan dengan apa yang dimilikinya dan dibutuhkannya. Kekhawatiran itu mengorbankan hal-hal yang normal, seperti contoh tatap muka tersebut.
Suatu saat nanti mungkin tatap muka akan bergeser jauh dari peran yang terdahulu. Berkomunikasi secara maya lama-kelamaan akan menjadi sebuah ‘kenikmatan tertinggi’, mungkin karena orang-bisa membayangkan apa saja yang ia mau tentang lawan bicaranya. Tatap muka hanya akan menjadi ‘selingan’ saja atau untuk sekedar menyampaikan ‘titipan barang’ dan basa-basi. Entah apa namanya, mungkin zaman post-sejarah, ketika manusia tidak memiliki kebutuhan bertatap muka untuk berkomunikasi secara serius, bahkan dalam urusan kenegaraan. Bisa jadi akan muncul ‘negara maya’ yang bisa on-line atau off-line dan tidak memiliki batas-batas wilayah berupa daratan dan lautan, penduduknya dapat berganti kewarganegaraan dalam hitungan menit, dan hal-hal yang sulit dibayangkan saat ini.
Memang sungguh unik ketika dunia nyata dan maya seakan tak berbatas dan telah tercampur aduk.

Penerbitan Perlu Sentuhan Seni

Seorang editor bukanlah karyawan penerbitan yang hanya duduk di kursi menunggu perintah dari atasan saja. Tuntutan zaman telah memaksa seorang editor menjadi ujung tombak dalam penerbitan karena dialah seseorang yang memiliki tanggung jawab besar di dalamnya. Sebagai ujung tombak, dia diharuskan untuk menjadi seorang jenius berwawasan luas, memiliki leadership, sekaligus berjiwa seni.
Proses di bagian penerbitan adalah lebih dari sekedar aplikasi skill, tetapi juga pengekspresian visual alias seni. Seni tersebut untuk menerjemahkan visi yang tersirat dalam sebuah penerbitan produk teks. Pemahaman akan tata bahasa dan luasnya perbendaharaan kata akan kurang berguna tanpa pengetahuan tentang nilai rasa sebuah kata. Pemahaman akan suatu teks akan sia-sia tanpa didukung pengetahuan tentang konteks, baik konteks budaya maupun situasi. Demikian pula kekayaan suatu ilmu akan menjadi mubazir tanpa mengetahui keinginan atau kebutuhan pasar. Hal terakhir ini semakin menjadi penting mengingat isi sebuah buku paling menjadi penentu kesuksesan.
Sebuah naskah mungkin saja sangat menarik atau hambar sama sekali. Namun, visi yang tersirat dari bahan mentah tersebutlah yang harus ditemukan terlebih dahulu. Bagaikan seorang manajer, editor harus menggariskan hal tersebut sebelum memutuskan untuk menerima sebuah naskah. Naskah yang biasa saja bisa menjadi potensial karena adanya kebutuhan di pasar yang tinggi. Apalagi naskah yang memiliki keunikan, maka seorang editor harus berani menerima dan mulai untuk mengeluarkan segenap jiwa seninya agar bisa memolesnya menjadi masterpiece.
Untuk menumbuhkan jiwa seni tersebutlah yang memakan waktu tidak sebentar. Ide atau inspirasi merupakan hal yang sangat penting bagi seorang editor seniman. Mendapatkannya sangatlah sulit jika tidak terlatih dalam berpikir kreatif atau dalam akuisisi naskah. Editor harus mau menjadi seorang ‘pencuri’ ide, atau paling tidak dia berkorban untuk berbelanja ide. Mencuri ide orang lain adalah legal selama belum dipatenkan atau tidak melanggar etika. Metode ini pun dirasa paling efektif untuk memunculkan inovasi baru, karena orang dapat mendapatkan ide secara utuh dan orisinil tanpa ditutup-tutupi. Misalnya, ada orang penerbit A mengisyaratkan untuk menerbitkan buku tentang beternak tokek, kemudian editor penerbit B mengetahuinya dan langsung mencuri start dengan tema tersebut. Mungkin penerbit A merasa kecolongan, tetapi sebenarnya hal itu akan menimbulkan kreativitas baru bagi mereka untuk mengemas sebuah produk dengan topik sama namun ‘rasa berbeda’. Jadi, sebenarnya kedua penerbit sama-sama memperoleh keuntungan, baik yang mencuri maupun yang kecurian.
Jalan lain adalah berbelanja ide, yaitu dengan mengadakan sharing dengan rekan dari penerbit lain atau penulis yang sudah terkenal. Cara ini dianggap lebih fair daripada mencuri ide, namun terkadang ide yang muncul sifatnya serampangan atau sporadis sehingga kurang efektif. Walaupun demikian, cara ini tetap harus digunakan untuk memperoleh inspirasi seluas-luasnya demi penerbitan yang inovatif. Sumur-sumur perlu digali lebih dalam dan lebar untuk mendapatkan inspirasi tersembunyi sekaligus menampung curahan ‘hujan’ ide.
Jika editor sudah memiliki kepekaan dalam penyuntingan dan dunia perbukuan, dia akan mulai menjadi seniman. Ide-ide penerbitan di dalam benaknya akan muncul dari hal-hal yang tidak diduga orang lain, misalnya tentang naskah 3 dimensi atau memadukan dua topik yang secara umum tidak nyambung. Waktu dan tempat akan semakin sulit membatasinya dalam berinovasi karena dia sadar bahwa inspirasi ada tidak hanya saat jam kerja dan di kantor.
Aplikasi ide selanjutnya menjadi tantangan yang luar biasa. Mencari penulis yang tepat atau menyeleksi naskah yang ada tentu saja memerlukan strategi yang jitu. Sorang seniman visioner akan melihat calon karyanya dari berbagai sisi, baik sisi kualitas isi maupun komersialnya. Sebuah naskah fiksi tentang petualangan bisa jadi bagus dan matang, namun menjadi tidak inovatif bila hanya diedit kebahasaannya saja. Editor harus mengetahui tentang spesifikasi buku, kaver, tata letak dan ilustrasi yang benar-benar pas untuk naskah tersebut sehingga tidak menjadi kesia-siaan, misalnya hanya karena ilustrasi gambar asal-asalan atau menggunakan ukuran kertas yang terlalu besar. Di sini lagi-lagi intuisi seni bermain secara alamiah ketika editor harus mempertimbangkan hasil editingnya secara visual. Dengan kata lain hasil akhir sebuah penyuntingan naskah harus bisa dibayangkan sehingga menjadi acuan dalam bekerja. Tentu saja, editor tidak bekerja sendiri, melainkan dia harus bersinergi dengan bagian artistik untuk mewujudkan karya terbaik. Hal tersebut semakin menguatkan alasan bahwa sentuhan seni harus dimiliki editor sehingga dia tidak asal nurut saja untuk urusan artistik. Bahkan dia harus lebih mengerti secara filosofis tentang naskah yang dikerjakannya daripada yang lain hubungannya dengan pendukungnya (desain kaver, layout dll) karena nilai-nilai itu tetap bersumber dari isi naskah tersebut.
Jiwa seorang editor dituntut untuk menyatu dengan apa yang dikerjakannya tanpa terlepas dari tuntutan bisnis. Jadi, seni di sini tetap memiliki batasan yang jelas karena sebuah penerbit pasti bagaikan berada dalam sebuah pasar; ia memiliki sebuah kios yang dipoles secantik mungkin agar dikunjungi dan diminati pelanggan. Pelanggan selalu memperhatikan bentuk, isi, dan harga serta menghargai keprofesionalan sebuah produsen. Penjual ide yang paling kreatiflah yang akan menang, bukan karena semata kualitas naskah namun juga karena kepekaan akan kebutuhan pembaca –karena buku memang untuk dibaca bukan pameran kata-kata belaka.
Sesuatu yang inovatif tak akan lepas dari sentuhan seni. Tanpa rasa keindahan, semua akan menjadi hambar. Tanpa sebuah ‘kegilaan’ yang positif, segalanya akan stagnan dan membosankan. Suatu ketika, sebuah visi perlu diubah saat kejenuhan mendekati kulminasi dan saat hantu krisis melanda penerbitan. Kegilaan dipadu dengan keindahan diperlukan demi menyelamatkan dunia perbukuan agar tidak terjerumus ke dalam jurang pembodohan publik. Bisa saja karena krisis moneter, sebuah penerbit akan mengeluarkan buku-buku atau novel-novel yang hanya menjual mimpi dan meminggirkan naskah-naskah yang sebenarnya problem solving. Artinya, pemikiran tentang revolusi seni harus selalu dimunculkan oleh seorang editor, baik di saat jaya maupun ketika genting.